Ku tatap dan terus melangkah
Pada setiap langkah ku tinggal sebuah rasa
Tak ingin lagi meratap tangis
Mencoba kuat dalam batuan terjal
Kamu dan dia, aku yang lain
"aku mencintaimu,
dan selamanya akan tetap begitu"
Sudah tak turut kembali
Dada yang sakit akan kehampaan
Menahan sampai tembus punggung
Namun ku tertumbuk pada keyakinan
Seutas janji yang 'tlah ku cipta
Salahku yang selalu menatapmu
Mengharap denganmu yang terlalu tinggi
Biarkan, kalau ini memang jalanku
Aku yang remuk terluka perasaan
Sabtu, 31 Maret 2012
Sebuah Akhir
Pada tepi sebuah perasaan
Aku berbalik untuk terakhir kali
Menunggu sesosok itu datang
Berharap membawa sesuatu untukku
Rasa kecewa yang terus menggerogot
Bunga layu membusuk kaku
Angan yang melambung tersungkur
Belati bertetes darah merah
Biarkan aku dalam tangisku
Hingga hati menjadi sangat puas
Dan air mata yang habis
Sampai tetes akhir jadi darah
Aku ingin mengakhiri sampai sini
Perasaan menyeruak itu ku biarkan
Angan dan harapan terbang melayang
Lanjut melangkah untuk yang belum bertemu
Aku berbalik untuk terakhir kali
Menunggu sesosok itu datang
Berharap membawa sesuatu untukku
Rasa kecewa yang terus menggerogot
Bunga layu membusuk kaku
Angan yang melambung tersungkur
Belati bertetes darah merah
Biarkan aku dalam tangisku
Hingga hati menjadi sangat puas
Dan air mata yang habis
Sampai tetes akhir jadi darah
Aku ingin mengakhiri sampai sini
Perasaan menyeruak itu ku biarkan
Angan dan harapan terbang melayang
Lanjut melangkah untuk yang belum bertemu
Senin, 26 Maret 2012
Tak Berarti
Masih banyak kata yang tak terungkap
Karena aku memandangmu sebagai aku
Menatap di belakang rasa yang pedih
Menahan tatapan mata yang kian menghunus
Pada dirimu kau semakin acuh
Duduk diam menatapku tak berarti
Tatapanmu itu ..
Aku makin hancur berkeping dibuatnya
Maaf jika aku terlalu bergantung padamu
Bukan aku yang mau, tapi hatiku
Jika memang yang terbaik untuk kau dan dia
Maka lakukan dengan berjalan bersama
Aku akan pergi dengan sebentuk hati ini
Tlah ku pilih satu jalan di persimpangan
Meski berjalan dengan kaki membeku
Seperti inilah aku, yang sakit karenamu
Karena aku memandangmu sebagai aku
Menatap di belakang rasa yang pedih
Menahan tatapan mata yang kian menghunus
Pada dirimu kau semakin acuh
Duduk diam menatapku tak berarti
Tatapanmu itu ..
Aku makin hancur berkeping dibuatnya
Maaf jika aku terlalu bergantung padamu
Bukan aku yang mau, tapi hatiku
Jika memang yang terbaik untuk kau dan dia
Maka lakukan dengan berjalan bersama
Aku akan pergi dengan sebentuk hati ini
Tlah ku pilih satu jalan di persimpangan
Meski berjalan dengan kaki membeku
Seperti inilah aku, yang sakit karenamu
Bayang Kelabu
Sepatah kata maaf terucap begitu saja
Bukan untuk kau yang indah
Terlebih pada diri yang hina
Untuk sebuah kesadaran yang bermakna
Aku begitu ingin memendam rasa yang ada
Hanya rasa yang kumiliki sendiri
Ku bagi denganmu juga tak mungkin
Karena kau pun ada yang lain lagi
Lain dengan sepatah sayap yang luka
Tapi bulan yang tinggal sebelah
Memuai dengan seberkas bayang kelabu
Memantul pada kaca yang hampir pecah
Perasaan kosong bila tak ada bayangmu
Bertemu pun tak berarti apa
Semampuku pada batas kekuatan hati
Aku masih dengan bayang kelabu milikmu
Bukan untuk kau yang indah
Terlebih pada diri yang hina
Untuk sebuah kesadaran yang bermakna
Aku begitu ingin memendam rasa yang ada
Hanya rasa yang kumiliki sendiri
Ku bagi denganmu juga tak mungkin
Karena kau pun ada yang lain lagi
Lain dengan sepatah sayap yang luka
Tapi bulan yang tinggal sebelah
Memuai dengan seberkas bayang kelabu
Memantul pada kaca yang hampir pecah
Perasaan kosong bila tak ada bayangmu
Bertemu pun tak berarti apa
Semampuku pada batas kekuatan hati
Aku masih dengan bayang kelabu milikmu
Bukan Apa-Apa
Dan mungkinkah rasa akan abadi
Bila jejak langkah terhenti disini
Menohok sebongkah hati
Menyinggung senyum yang terpungkiri
Aku bukan ombak yang tak pasang
Pada nafasku ranting 'kan patah
Menggelora bara api asmara
Sedetik padam tersiram air mata
Aku tegak disini dan tak juga kau
Terpisah dengan akar yang menguat
Saling tatap dengan tanya bodoh
Oleh aku yang selalu tak tahu akan dirimu
Tak sanggup aku tenang pada ombak laut
Mengapung di malam yang pilu
Penuh akan harap jikalau kau tahu
Aku sayang kamu, dan selamanya akan tetap begitu
Bila jejak langkah terhenti disini
Menohok sebongkah hati
Menyinggung senyum yang terpungkiri
Aku bukan ombak yang tak pasang
Pada nafasku ranting 'kan patah
Menggelora bara api asmara
Sedetik padam tersiram air mata
Aku tegak disini dan tak juga kau
Terpisah dengan akar yang menguat
Saling tatap dengan tanya bodoh
Oleh aku yang selalu tak tahu akan dirimu
Tak sanggup aku tenang pada ombak laut
Mengapung di malam yang pilu
Penuh akan harap jikalau kau tahu
Aku sayang kamu, dan selamanya akan tetap begitu
Minggu, 25 Maret 2012
Memendam Diam
memendam rasa itu pilu
menuai luka yang tak sembuh
ingin berkata namun enggan
hendak bercerita tapi sungkan
lalu, harus bagaimana ?
untuk apa aku berdiri disini
kalau tak ada hasil yang tak pasti
terus tersayat pada serpihan impi
ku sentuh tapi tak ku raih
seonggok daging mahakarya Tuhan
ku pandang tapi tak ku bicara
hanya menunggu dalam diam
aku buta pada persimpangan jalan
dan jika kau mencariku nanti
aku masih disini, di persimpangan jalan ini
aku, tegak memendam diam
menuai luka yang tak sembuh
ingin berkata namun enggan
hendak bercerita tapi sungkan
lalu, harus bagaimana ?
untuk apa aku berdiri disini
kalau tak ada hasil yang tak pasti
terus tersayat pada serpihan impi
ku sentuh tapi tak ku raih
seonggok daging mahakarya Tuhan
ku pandang tapi tak ku bicara
hanya menunggu dalam diam
aku buta pada persimpangan jalan
dan jika kau mencariku nanti
aku masih disini, di persimpangan jalan ini
aku, tegak memendam diam
SEBUAH RASA
Masih terbentang jauh jarak ini
Masih tinggi langit yang menggantung
Masih dalam jurang yang menengahi
Masih mengarung samudera lepas
Aku tersesat dengan kaki terantai
Dengan terseok menyusuri jalan
Menerobos duri-duri bunga hutan
Menahan tikaman pedang dalam dada
Tetap berdiri ditengah terjangan badai
Angin yang menyeret dan menusuk tubuhku
Pisau yang tak henti mengasah pada citaku
Memahat sebuah rasa abadi
Aku ingin dia dan hanya dia
Meraih dia walau tali tetap mengikat
Melepaskan anak panah amora
Agar ego mewujud dalam nyata
Aku memohon pada dzat yang abadi
Bersimpuh pada tetes air mata
Selagi aku masih tahan dengan ini
Ulurkan dia yang kuminta pada hidupku
Senin, 19 Maret 2012
Tentang Gerimis
Saat itu adalah senja hari. Senja
yang biasanya berwarna indah, kini tertutup oleh sebentuk langit yang mendung.
Disertai derai-derai lembut air yang jatuh dari langit, yang orang biasa
menyebutnya sebagai…GERIMIS…
Erina berdiri mematung di teras
rumahnya. Pikirannya menerawang jauh. Tentangnya. Kenangannya. Bersama gerimis.
“Sudah 3 hari ini gerimis turun
setiap pagi..”
“Eh ?” Erina tersadar dari
lamunannya.
“Gerimis selalu indah, Rin..”
“Ayah tentunya tahu aku membenci gerimis.”
“Kau bukannya membenci gerimis. Tapi
kenangan tentangnya.”
“Aku benci keduanya.” Kata Erina
dingin.
“Itu berarti kau membenci ibumu,
bukan begitu ?”
Erina bergeming. Lidahnya terasa kelu. Satu pertanyaan
yang tak kan
pernah bisa ia jawab. Satu kata yang setiap saat mengusik hati dan pikirannya…IBU…
“Sebenci apapun kau pada ibumu..”
“Dia tetap ibuku. Wanita yang telah mengandungku selama sembilan
bulan lebih. Yang rela mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku. Yang telah
menghidupiku sampai aku dewasa. Aku tahu, Ayah. Sudah
berulang kali ayah mengatakan itu.” Potong Erina.
“Erina…”
Ayah beranjak mendekati Erina dan merangkul pundaknya
dari samping kanan.
“Semua sudah berlalu, Rin..” kata
Ayah melanjutkan.
“Kenangan itu,Ayah.. Masih tersimpan
rapi disudut hati ini. Rasa sesal itu masih mengendap di otak.”
Mata Erina perlahan berkaca-kaca. Ia mulai menyandarkan
kepala di pundak Ayahnya. Pikirannya kembali menerawang. Tentang gerimis.
Tentang Ibunya. Tentang kenangan pahitnya. Dan batas tipis antara benci dan
cinta…
@@
“Aku tidak mau kuliah kedokteran, Bu! Aku
ingin jadi guru!” kata Erina tegas.
“Semua tidak bisa diputuskan semaumu
sendiri, Rin. Cobalah menjadi anak yang penurut pada orang tuamu!” kata Ibu
lebih keras.
Gerimis sore itu, di suatu rumah yang megah sedang
terjadi pertengkaran sengit antara Ibu dan anak perempuan semata wayangnya.
Saling berteriak. Saling menggebrak meja.
“Oke kalau kau memang mau jadi guru!
Biayai sendiri sekolahmu! Memangnya kau pikir cari uang itu gampanag, Hah?!
Seenaknya saja kamu!”
“Kenapa semua yang ada di rumah ini
harus mau diatur oleh ibu ? jangan mentang-mentang Ibu yang bekerja, lalu
dengan seenaknya memaksakan kehendak ibu ! setiap orang punya perasaan, Bu.
Erina juga punya hati!”
Air mata perlahan meleleh di wajah Erina. Bibirnya
bergetar. Melihat buah hatinya menangis, Ibu itu mulai melunak. Dia menunduk.
Terdiam untuk beberapa saat.
“Ibu hanya ingin yang terbaik untuk
kamu,Rin.. Hanya kamu satu-satunya
harapan Ibu.” Ucap Ibu lirih.
“Erina tahu Ibu ingin yang terbaik,
tapi tidak seperti ini caranya, Bu! Ibu hanya akan menyakiti hati Erina.
Tolong,bu.. untuk kali ini saja turuti keinginan Erina..” dengan
sungguh-sungguh Erina memohon pada Ibunya.
“Tidak…” kata Ibu pelan.
Erina terkesiap.
“Kamu harus jadi dokter,Rin! Ibu tak
peduli sekeras apapun kau menolaknya! Pikirkan masa depanmu !” Ibu berdiri
tegak di samping meja makan. Tangannya terkepal kuat.
“Ibu punya kenalan di Universitas
itu. Jadi, kamu sudah tidak perlu tes untuk masuk kesana. Sekali lagi, jangan
kecewakan Ibu, Nak. Ini demi kebaikanmu juga. Kau akan tahu benarnya pilihan
Ibu ini ketika kau sudah sukses nanti. Percayalah …”
Ibu mengambil tas kerjanya yang terletak di kursi makan
dan hendak beranjak pergi ketika Erina mulai membuka suara,
“Ibu memang mengenal banyak orang.
Orang-orang borjuis yang menganggap segala sesuatu bisa dibeli dengan uang.”
Ibu menghentikan langkahnya.
“Cinta dan kasih sayang itu tak
terhingga harganya. Tak bisa dirupiahkan. Apalagi kasih ibu sepanjang masa.”
Lanjut Erina.
“Jangan terlalu lama
berbasa-basi,Rin. Katakan apa maksud perkataanmu sesungguhnya, Ibu sudah tak
punya banyak waktu!” sergah Ibu.
“Sudah berapa banyak lelaki diluar
sana yang Ibu rayu hanya untuk melancarkan bisnis Ibu, hah? Hanya untuk sepeser
uang saja, Ibu merendahkan diri pada seorang lelaki!”
Bibir Erina bergetar mengatakannya. Ibu itu tergeragap.
Sedetik kemudian…
PLAAAKKK…!!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri
Erina.
“Dasar anak tidak tahu diri! Seperti
inikah yang diajarkan oleh bapak-ibu gurumu di sekolah? Mulut yang tak sopan
dan berani melawan orang tua! Ya Tuhan, beraninya kau menghina Ibumu seperti
itu. Begitukah ungkapan rasa terima kasihmu kepada orang yang telah
melahirkanmu dan merawatmu dengan susah payah?!” kata Ibu menggelegar.
Erina tersenyum kecut.
“Munafik.. Akui saja kelakuan ibu
itu! Jangan sok suci dan sok baik didepan Erina,Bu! Karena Erina sudah banyak
tahu tentang kelakuan Ibu itu! Tentang
sejumlah uang yang Ibu dapatkan dengan
cara korupsi! Ibu pikir Erina ini gadis lugu yang tidak
tahu apa-apa dan bisa Ibu bodohi dengan mudahnya? Ibu sungguh keliru jika
berpikiran seperti itu.”
“Kamu…” tangan ibu sudah bersiap akan
memukul Erina lagi, tapi dengan sigap Erina mencekalnya.
“Hanya manusia yang benar-benar suci
yang berhak memukulku. Walaupun kau adalah ibuku. Dan aku percaya bahwa surga
terletak di telapak kakimu, tapi kelakuanmu yang tak pantas itu hanya akan
memperkeruh air surgamu!” Erina menepis tangan Ibunya.
“Maaf kalau Erina berkata lancang…”
Erina melanjutkan. Tampak rasa menyesal pada raut muka Erina.
Ibu menatap tajam Erina yang berdiri
tertunduk.
“Kalaupun memang semua yang kau
katakan itu adalah benar, lalu kau mau apa? Membenci ibumu yang hina ini lalu
pergi dari rumah? Pikirkan apa yang bisa kau dapatkan dari ayahmu yang yang hanya wiraswasta
itu!”
Ibu tersenyum sinis. Puas. Peperangan sore ini diakhiri
oleh kemenangannya. Dilihatnya Erina hanya diam mematung didepannya, menatapnya
dengan mata yang melebar saking kagetnya.
“Ibu memang tak punya hati! Seorang
ibu yang tak ber-perikemanusiaan!” kata Erina tajam. “Tuhan Maha Adil,Bu…”
lanjutnya. “Suatu saat nanti Ibu akan mendapatkan balasan dari segala yang Ibu
lakukan!” kecam Erina.
@@
Malam ini gerimis lagi. Gerimis panjang yang tak mau
berhenti. Ya, hanya gerimis…
BRAAKK !! suara pintu mobil
dibanting.
“Jangan pernah sedikit pun berfikir untuk memberiku undangan!
Tak sudi aku datang di pernikahan jahanam itu! Muak aku melihat wajah busukmu
itu!” kata Erina tajam.
“Maafkan aku,Rin… Aku hanya tak
sempat bilang padamu.” Mohon lelaki itu.
“Tak sempat katamu? Memangnya apa
yang kau kerjakan selama ini sampai kau tak sempat mengatakan tentang
pernikahan ini padaku? Ya Tuhan… Kau memang sama dengan Ibuku, sama-sama tak
punya hati! 2 tahun lebih hubungan kita seperti tak ada harganya dimatamu!
Dimana letak janji-janji manis yang berulang kali kau katakan padaku? Dimana
perwujudan dari kau ingin hidup denganku sampai maut memisahkan kita? Semuanya
BULLSHIT!!!”
Erina hendak beranjak pergi saat tangan Erwin mencekal
lengannya.
“Sekali
lagi maafkan aku, Rin. Belakangan ini kamu sibuk dengan pasien-pasienmu. Jadi
aku...” kalimat Erwin terpotong.
“Lepaskan! Apa kau tidak malu,Win?
Kau bermain api dengan Ibu kandung dari kekasihmu sendiri, dan sekarang kau
akan menikah dengannya! Demi Tuhan, apa yang ada didalam otakmu itu? Apa kau tidak mampu berpikir
dengan jernih?!” tukas Erina.
“Aku mohon,Rin…maafkan aku. Aku harap
kita masih bisa berhubungan baik setelah ini. Aku tahu aku yang salah. Maka
maafkanlah aku,Rin..”
“Begitu mudah mulutmu berbicara. Kau
sama bodohnya dengan Ibuku. Kau tak kan
pernah tahu untuk apa hati diciptakan. Selamanya kau tak kan bisa membedakan cinta yang tulus dan
pemanfaatan cinta. Dan kau, adalah cinta yang dimanfaatkan.”
“Apa maksudmu,Rin? Aku sungguh tak
mengerti…”
Erina memandang Erwin yang
kebingungan, lalu tersenyum sinis.
“Selamat ya,Win. Kau memang pantas
bersanding dengan Ibuku. Kalian punya banyak persamaan. Sama-sama berhati batu!
Tanpa ku sadari kalian sama munafiknya!” tukas Erina.
Final!! Sebuah tali cinta yang tulus itu telah terputus
oleh adanya pengkhianatan. Dengan gerimis mengiringinya.
Sebuah fakta pahit yang harus Erina
terima. Erwin, seorang eksmud yang sudah 2
tahun ini menjalin hubungan dengan Erina. Hubungan itu kandas seketika saat
Erwin menyerahkan selembar undangan kepada Erina. Undangan bergambar foto sepasang
orang yang dulunya sama-sama Erina sayangi. Erwin dan Nadine, Ibu kandung
Erina.
Sejak turun dari mobil Erwin, Erina
berjalan sendiri. Dengan menenteng
jas dokternya ia sendiri menembus gerimis malam yang
panjang. Sampai akhirnya ia melihat halte bus dan berteduh disana. Erina
menundukkan kepalanya, dengan samar-samar memandang gerimis didepannya yang tak
henti-hentinya turun malam itu, air matanya perlahan turun membasahi pipinya.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara.
“Erina...
Ada apa?”
Sebuah suara mengagetkan Erina,
sontak dia mengangkat kepalanya. Dilihatnya seorang lelaki berdiri tegap disebelahnya. Menundukkan
kepala untuk menatap Erina. Dengan keremangan lampu jalan, Erina mencoba melihat
lebih jelas wajah lelaki itu.
“Eka…” lirih Erina
“Ya, ada apa? Kenapa kamu menangis sendirian
disini? Kamu ga’ bawa mobil? Ga’
dijemput Erwin, Rin?”
Erina kembali terisak. Sedetik
kemudian dia merengkuh tubuh lelaki didepannya itu.
“Menangislah jika kau ingin menangis.
Tumpahkan semua kesakitanmu..” ucap Eka didekat telinga Erina sambil mengelus rambut
panjang Erina yang agak basah.
Ku menangis,
Melepaskan kepergianmu dari sisi hidupku.
Kau duakan cinta ini,
Kau pergi bersamanya…
Dan akulah hati yang telah-
Kau sakiti…
@@
Tanah merah itu masih basah, basah
oleh gerimis yang terus berjatuhan dari langit. Tak ada tanda-tanda berubah
menjadi curahan air yang demikian banyaknya.
Tetap gerimis. Hanya gerimis…
Erina hanya bisa mematung di
tempatnya dengan kedua mata yang sembab dan merah, ditutup oleh sebuah kacamata
hitam. Tangannya memegang selembar tissue putih. Pandangannya tertuju pada
sosok ayahnya yang bersimpuh sambil
terisak.
Perlahan Erina berjalan mendekat dan merengkuh
pundak Ayahnya yang sedang bersimpuh disamping gundukan tanah merah itu. Lelaki
setengah baya itu kini adalah satu-satunya orang tua yang kini dimilikinya
“Ayah.. maafkan Erina. Erina tidak
bisa menolong Ibu..” kata Erina. Sang ayah mencoba sejenak menghentikan
isaknya.
“Sudahlah,Nak.. Ini bukan salahmu.
Ini semua sudah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa. Kau sudah berusaha
semampumu, Rin…” dengan penuh kasih sayang, Ayah itu memeluk anak satu-satunya.
Harta terindah yang masih dimilikinya di dunia ini.
Erina terdiam, memandang tanah
pekuburan Ibunya. Dengan susah payah ia menahan kepedihan yang menggigit-gigit
tubuhnya.
“Rin…” sebuah suara yang sudah tak
asing di telinga Erina. Erina menoleh dan mendapati sosok pria yang dulu pernah
menjadi sandaran hatinya. Erina terkesiap.
“Erwin…” ucapnya pelan.
“Ya,Rin. Aku masih disini…untukmu.”
“Beraninya kau datang kemari!” geram
Erina.
“Harus berapa kali ku katakan
padamu,Rin. Pernikahan itu tidak pernah ada!”
Erina seketika berdiri dan menarik tangan Erwin untuk
menjauh.
“Sudahlah,Win.. Aku muak melihat
wajahmu!” kata Erina.
“Aku mohon,Rin.. kembalilah padaku.
Kita jalani hidup berdua seperti dulu lagi. Akan ku tepati segala janji yang
dulu aku ucapkan padamu. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku masih
mencintaimu, Rin…”
“Kau pikir aku perempuan yang mau
menjilat kembali ludah yang telah ku buang? Apa otakmu masih berfungsi dengan
baik? Aku tak bodoh sepertimu!”
“Beri aku kesempatan untuk
memperbaikinya,Rin. Tidakkah kau tahu perasaanku yang sesungguhnya kepadamu?
Aku mohon. Kalau perlu aku akan sujud dan mencium kakimu sekarang juga.” pinta
Erwin seketika bersimpuh di hadapan Erina. Erina mundur selangkah.
Hati Erina tergugah oleh kesungguhan Erwin. Keteguhan hatinya dipertaruhkan. Tersirat rasa
kasihan pada pandangan mata Erina.
Sudah beberapa bulan ini Erwin terus
memohon kepada Erina. Tak kenal lelah untuk meyakinkan Erina bahwa
pernikahannya dengan Ibu Erina tak pernah terlaksana. Hanya 3 hari menjelang hari pernikahan,
Erwin memutuskan untuk menggagalkan semuanya. Membatalkan gedung resepsi
pernikahan, catering, baju pernikahannya pun dibakar didepan Ibu Erina dengan penuh
amarah. Erwin akhirnya sadar bahwa apa yang telah dikatakan Erina tentang
Ibunya adalah benar. Nadine menikahinya hanya untuk mendapatkan saham yang
lebih besar di perusahaannya. Nadine, tak lebih dari serigala berbulu domba.
“Maaf,Win…” Erina menarik tangan
Erwin untuk bangkit. Erwin menatap matanya dalam-dalam.
“Rin…” panggil seseorang yang tak
jauh dari tempat Erina dan Erwin berdiri. Erina menoleh, sedetik kemudian Erwin
mengikuti.
“Sedang apa kamu disini, sayang?”
kata lelaki itu.
Sontak Erwin berpaling menatap Erina. Seolah mencari
penjelasan atas kata ‘sayang’ yang diucap lelaki itu. Erina yang seolah
mengerti apa yang menjadi pertanyaan di benak Erwin, hanya mengedikkan bahu.
“Aku mencarimu kemana-mana, Sayang.
Mari kita pulang. Ayah sudah menunggu di mobil.” kata lelaki itu.
“Dia suamiku,Win. Tak lama setelah
kau putuskan aku, aku menikah dengan dia. Maaf, Win. Aku pamit dulu..”
“Tapi kenapa kamu
ga’ kasih tahu aku, Rin? Sudah berapa lama?”
“Tuga bulan setelah
kita putus. Dia temanku saat kami kuliah di Belanda dulu.”
Raut wajah Erwin berubah sedih. Memandang Erina tak percaya. Matanya nanar. Seluruh tubuhnya bagai
ditusuk sebatang galah. Erina sudah hendak beranjak dari tempatnya saat lengan
kirinya dicekal oleh tangan Erwin.
“Aku harap kamu bisa menemukan
perempuan lain yang jauh lebih baik dariku. Aku pergi dulu,Win.. Jaga dirimu
baik-baik.” Erina melepaskan tangannya, lalu dengan sedikit berlari menghampiri
suami yang sangat dicintainya.
“Siapa dia? Teman kamu?” Tanya suami
Erina.
“Ya, teman lama..” jawab Erina
singkat.
Mereka berjalan menjauh. Erina merangkul tangan suaminya
erat-erat. Seolah tak mau jauh dari lelaki bertubuh tegap itu. Ya, dialah Eka.
Lelaki yang selalu memberi pelukan hangat saat Erina membutuhkannya. Sesosok imam yang dapat mengayomi Erina dengan
sepenuh hati. Tanpa kemunafikan dan keraguan hati.
Sementara Erwin hanya diam memandang
punggung 2 insan itu, yang semakin lama semakin menjauh. Dalam lubuk hati yang
paling dalam, Erwin berharap Erina akan menoleh padanya, lalu berlari dan
merangkul tubuhnya. Mengucapkan kata-kata yang sangat ingin dia dengar. Namun,
harapan tinggal harapan. Kenangan tinggal kenangan. Nasi yang sudah menjadi
bubur-mau tak mau-harus dimakan juga.
Dengan berat, Erwin memutar tubuhnya.
Memandang gundukan tanah merah yang masih basah itu. Perlahan, ia mendekatinya.
Ia bersimpuh di tepi makam itu. Hatinya teriris.
“Nyonya Nadine…” ucapnya lirih.
“Semoga kau tenang disana. Dan semoga kau mendapat balasan yang seadil-adilnya
atas apa yang telah kau lakukan selama ini. Tidakkah kau ingat berapa banyak
orang yang kau lukai? Berapa banyak hati yang kau manfaatkan untuk
kepentinganmu sendiri? Percayalah, karma itu benar adanya.”
Erwin berhenti sejenak, lalu tersenyum sinis.
“Selamat jalan…wanita jalang…”
@@
Dalam hati kecilnya, Erina tidak
benar-benar membenci Ibunya. Dia sadar bahwa memang tidak ada manusia yang
sempurna di dunia ini. Terlepas dari segala hal negatif tentang Ibunya, Erina
memandang Ibunya adalah sosok yang cerdas, ramah, baik, dan selalu tegas dalam
mengambil keputusan. Dan itu membuatnya sedikit bangga sebagai anaknya. Namun,
ternyata, justru itulah yang terburuk.
Suatu ketika Ibu Erina jatuh sakit,
batuk-batuk parah dan suhu badannya tinggi. Erina yang pada saat itu sudah
menjadi dokter dan sudah mendapat sertifikat untuk membuka praktek sendiri,
selalu setia disamping Ibunya. Diagnosis awal menunjukkan gejala TBC, tapi
begitu foto rontgent paru-parunya keluar,
semua dokter sepakat kalau Ibu Erina mengidap kanker paru-paru stadium akhir.
Berat badan Ibunya menyusut dalam
sekejap. Matanya cekung, tulang pipinya menonjol, dan gairah hidupnya hilang.
Enam bulan kemudian, sejak vonis kanker itu diberikan, Ibu Erina pergi tanpa
sepatah kata pun diucapkan, bahkan sekedar kata ‘maaf’. Pergi untuk selamanya,
meninggalkan sosok Erina yang selalu terisak karena tidak bisa menolong Ibunya
untuk hidup lebih lama lagi.
Ya, Allah yang mengatur segalanya.
Allah yang punya urusan dalam setiap langkah hamba-Nya.
@@
Tak terasa air mata Erina mengalir.
Masih dipandangnya gerimis itu. Begitu teduh gerimis itu, mengingatkannya dalam
segala kenangan pahit.
“Ibu dulu pernah
bilang kalau nantinya aku tidak akan menyesali keputusan Ibu yang menjadikanku
seorang dokter. Namun, aku sangat menyesal karena tidak bisa menjadi dokter
yang tidak pandai merawat pasiennya. Apalagi pasien itu adalah Ibunya sendiri.”
Linangan air mata Erina semakin deras.
“Sudahlah, Rin.
Ayah tahu kamu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong Ibumu. Jangan
selalu menyalahkan diri sendiri, itu tidak baik untuk kariermu. Kamu tidak akan
berkembang kalau terus dibayangi oleh masa lalumu yang kelam.” Ujar Ayah
menenangkan Erina.
“Ma, asyik sekali lihat gerimisnya!”
Erina buru-buru menghapus air matanya, lalu berbalik. Ia
melihat Erika, gadis manis berusia 5 tahun yang merupakan buah perkawinannya
dengan Eka. Erina tersenyum lalu menggendongnya.
“Mandi hujan yuk, Ma!” ajak Erika.
Erina menatap ayahnya. Ayahnya tersenyum.
“Kalau kau ingin mandi hujan bersama
putrimu, lakukanlah, Rin.”
Mata Erina kembali berkaca-kaca menatap Ayahnya.
“Ya,Ayah. Erina ingin berbagi kenangan
dalam gerimis.”
“Rin..ini bukan gerimis terakhir…”
kata Ayah sambil menatap Erina. “Luruhkan semua kenangan pahitmu bersama
gerimis.”
Erina menggenggam tangan ayahnya. Ada kehangatan hati yang menjalar melalui
tangannya. Kemudian, sambil tetap menggendong Erika, Erina berjalan menuju
halaman rumahnya, menerobos gerimis dan menari-nari bersama Erika sambil
tertawa.
Sejenak Erina tengadah menghadap langit.
Dalam hati Erina berkata,
“Gerimis
ini, adalah rezeki yang Kau berikan kepada makhluk-makhluk-MU di muka bumi.
Walaupun kenanganku tentang gerimis sangat kelam, namun sebagai makhluk ciptaan-MU
yang paling sempurna, aku sepertinya tak pantas membenci gerimis. Semoga setelah ini tak ada lagi hal-hal buruk yang terjadi
dalam gerimis. Sehingga tak ada lagi alasan untuk ku membenci gerimis dan segala
kenangan tentangnya…”
Perlahan Erina tersenyum sambil
berbisik,
“Terima kasih, Ya Allah…”
Kamis, 15 Maret 2012
MERENUNG
Aku berdiri di satu kaki ku
Aku kuat untuk menempuh jalan ini
Telah tumbang asa ku yang memang rapuh
Seperti awan beriringan di hempas semilir
angin
Membawanya jauh, pergi, dan tak kembali
Aku masih berdiri
Bertahan, memegang dada ku sesak penuh debu
dan pasir
Begitu sesak hingga sulit aku bernafas
Aku terengah, menangis di tengah malam
sunyi
Larut dan dingin, aku bersimpuh, bersujud,
dan memohon
Seakan seluruh tubuh ku ikut bertasbih
Kering air mata ku, dan aku pun mulai
berhenti menulis
Segera beranjak dan berdiri
Menghadapi kerasnya
hidup ini
Langganan:
Postingan (Atom)