Senin, 19 Maret 2012

Tentang Gerimis


Saat itu adalah senja hari. Senja yang biasanya berwarna indah, kini tertutup oleh sebentuk langit yang mendung. Disertai derai-derai lembut air yang jatuh dari langit, yang orang biasa menyebutnya sebagai…GERIMIS…
Erina berdiri mematung di teras rumahnya. Pikirannya menerawang jauh. Tentangnya. Kenangannya. Bersama gerimis.
“Sudah 3 hari ini gerimis turun setiap pagi..”
“Eh ?” Erina tersadar dari lamunannya.
“Gerimis selalu indah, Rin..”
“Ayah tentunya tahu aku membenci gerimis.”
“Kau bukannya membenci gerimis. Tapi kenangan tentangnya.”
“Aku benci keduanya.” Kata Erina dingin.
“Itu berarti kau membenci ibumu, bukan begitu ?”
Erina bergeming. Lidahnya terasa kelu. Satu pertanyaan yang tak kan pernah bisa ia jawab. Satu kata yang setiap saat mengusik hati dan pikirannya…IBU…
“Sebenci apapun kau pada ibumu..”
“Dia tetap ibuku. Wanita yang telah mengandungku selama sembilan bulan lebih. Yang rela mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku. Yang telah menghidupiku sampai aku dewasa. Aku tahu, Ayah. Sudah berulang kali ayah mengatakan itu.” Potong Erina.
“Erina…”
Ayah beranjak mendekati Erina dan merangkul pundaknya dari samping kanan.
“Semua sudah berlalu, Rin..” kata Ayah melanjutkan.
“Kenangan itu,Ayah.. Masih tersimpan rapi disudut hati ini. Rasa sesal itu masih mengendap di otak.”
Mata Erina perlahan berkaca-kaca. Ia mulai menyandarkan kepala di pundak Ayahnya. Pikirannya kembali menerawang. Tentang gerimis. Tentang Ibunya. Tentang kenangan pahitnya. Dan batas tipis antara benci dan cinta…

@@

“Aku tidak mau kuliah kedokteran, Bu! Aku ingin jadi guru!” kata Erina tegas.
“Semua tidak bisa diputuskan semaumu sendiri, Rin. Cobalah menjadi anak yang penurut pada orang tuamu!” kata Ibu lebih keras.
Gerimis sore itu, di suatu rumah yang megah sedang terjadi pertengkaran sengit antara Ibu dan anak perempuan semata wayangnya. Saling berteriak. Saling menggebrak meja.
“Oke kalau kau memang mau jadi guru! Biayai sendiri sekolahmu! Memangnya kau pikir cari uang itu gampanag, Hah?! Seenaknya saja kamu!”
“Kenapa semua yang ada di rumah ini harus mau diatur oleh ibu ? jangan mentang-mentang Ibu yang bekerja, lalu dengan seenaknya memaksakan kehendak ibu ! setiap orang punya perasaan, Bu. Erina juga punya hati!”
Air mata perlahan meleleh di wajah Erina. Bibirnya bergetar. Melihat buah hatinya menangis, Ibu itu mulai melunak. Dia menunduk. Terdiam untuk beberapa saat.
“Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu,Rin.. Hanya kamu satu-satunya harapan Ibu.” Ucap Ibu lirih.
“Erina tahu Ibu ingin yang terbaik, tapi tidak seperti ini caranya, Bu! Ibu hanya akan menyakiti hati Erina. Tolong,bu.. untuk kali ini saja turuti keinginan Erina..” dengan sungguh-sungguh Erina memohon pada Ibunya.
“Tidak…” kata Ibu pelan.
Erina terkesiap.
“Kamu harus jadi dokter,Rin! Ibu tak peduli sekeras apapun kau menolaknya! Pikirkan masa depanmu !” Ibu berdiri tegak di samping meja makan. Tangannya terkepal kuat.
“Ibu punya kenalan di Universitas itu. Jadi, kamu sudah tidak perlu tes untuk masuk kesana. Sekali lagi, jangan kecewakan Ibu, Nak. Ini demi kebaikanmu juga. Kau akan tahu benarnya pilihan Ibu ini ketika kau sudah sukses nanti. Percayalah …”
Ibu mengambil tas kerjanya yang terletak di kursi makan dan hendak beranjak pergi ketika Erina mulai membuka suara,
“Ibu memang mengenal banyak orang. Orang-orang borjuis yang menganggap segala sesuatu bisa dibeli dengan uang.”
Ibu menghentikan langkahnya.
“Cinta dan kasih sayang itu tak terhingga harganya. Tak bisa dirupiahkan. Apalagi kasih ibu sepanjang masa.” Lanjut Erina.
“Jangan terlalu lama berbasa-basi,Rin. Katakan apa maksud perkataanmu sesungguhnya, Ibu sudah tak punya banyak waktu!” sergah Ibu.
“Sudah berapa banyak lelaki diluar sana yang Ibu rayu hanya untuk melancarkan bisnis Ibu, hah? Hanya untuk sepeser uang saja, Ibu merendahkan diri pada seorang lelaki!”
Bibir Erina bergetar mengatakannya. Ibu itu tergeragap. Sedetik kemudian…
PLAAAKKK…!!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Erina.
“Dasar anak tidak tahu diri! Seperti inikah yang diajarkan oleh bapak-ibu gurumu di sekolah? Mulut yang tak sopan dan berani melawan orang tua! Ya Tuhan, beraninya kau menghina Ibumu seperti itu. Begitukah ungkapan rasa terima kasihmu kepada orang yang telah melahirkanmu dan merawatmu dengan susah payah?!” kata Ibu menggelegar.
Erina tersenyum kecut.
“Munafik.. Akui saja kelakuan ibu itu! Jangan sok suci dan sok baik didepan Erina,Bu! Karena Erina sudah banyak tahu tentang kelakuan Ibu itu! Tentang sejumlah uang yang Ibu dapatkan  dengan cara korupsi! Ibu pikir Erina ini gadis lugu yang tidak tahu apa-apa dan bisa Ibu bodohi dengan mudahnya? Ibu sungguh keliru jika berpikiran seperti itu.”
“Kamu…” tangan ibu sudah bersiap akan memukul Erina lagi, tapi dengan sigap Erina mencekalnya.
“Hanya manusia yang benar-benar suci yang berhak memukulku. Walaupun kau adalah ibuku. Dan aku percaya bahwa surga terletak di telapak kakimu, tapi kelakuanmu yang tak pantas itu hanya akan memperkeruh air surgamu!” Erina menepis tangan Ibunya.
“Maaf kalau Erina berkata lancang…” Erina melanjutkan. Tampak rasa menyesal pada raut muka Erina.
Ibu menatap tajam Erina yang berdiri tertunduk.
“Kalaupun memang semua yang kau katakan itu adalah benar, lalu kau mau apa? Membenci ibumu yang hina ini lalu pergi dari rumah? Pikirkan apa yang bisa kau dapatkan dari ayahmu yang yang hanya wiraswasta itu!”
Ibu tersenyum sinis. Puas. Peperangan sore ini diakhiri oleh kemenangannya. Dilihatnya Erina hanya diam mematung didepannya, menatapnya dengan mata yang melebar saking kagetnya.
“Ibu memang tak punya hati! Seorang ibu yang tak ber-perikemanusiaan!” kata Erina tajam. “Tuhan Maha Adil,Bu…” lanjutnya. “Suatu saat nanti Ibu akan mendapatkan balasan dari segala yang Ibu lakukan!” kecam Erina.

@@
Malam ini gerimis lagi. Gerimis panjang yang tak mau berhenti. Ya, hanya gerimis…
BRAAKK !! suara pintu mobil dibanting.
“Jangan pernah sedikit pun berfikir untuk memberiku undangan! Tak sudi aku datang di pernikahan jahanam itu! Muak aku melihat wajah busukmu itu!” kata Erina tajam.
“Maafkan aku,Rin… Aku hanya tak sempat bilang padamu.” Mohon lelaki itu.
“Tak sempat katamu? Memangnya apa yang kau kerjakan selama ini sampai kau tak sempat mengatakan tentang pernikahan ini padaku? Ya Tuhan… Kau memang sama dengan Ibuku, sama-sama tak punya hati! 2 tahun lebih hubungan kita seperti tak ada harganya dimatamu! Dimana letak janji-janji manis yang berulang kali kau katakan padaku? Dimana perwujudan dari kau ingin hidup denganku sampai maut memisahkan kita? Semuanya BULLSHIT!!!”
Erina hendak beranjak pergi saat tangan Erwin mencekal lengannya.
      “Sekali lagi maafkan aku, Rin. Belakangan ini kamu sibuk dengan pasien-pasienmu. Jadi aku...” kalimat Erwin terpotong.
“Lepaskan! Apa kau tidak malu,Win? Kau bermain api dengan Ibu kandung dari kekasihmu sendiri, dan sekarang kau akan menikah dengannya! Demi Tuhan, apa yang ada didalam otakmu itu? Apa kau tidak mampu berpikir dengan jernih?!” tukas Erina.
“Aku mohon,Rin…maafkan aku. Aku harap kita masih bisa berhubungan baik setelah ini. Aku tahu aku yang salah. Maka maafkanlah aku,Rin..”
“Begitu mudah mulutmu berbicara. Kau sama bodohnya dengan Ibuku. Kau tak kan pernah tahu untuk apa hati diciptakan. Selamanya kau tak kan bisa membedakan cinta yang tulus dan pemanfaatan cinta. Dan kau, adalah cinta yang dimanfaatkan.”
“Apa maksudmu,Rin? Aku sungguh tak mengerti…”
Erina memandang Erwin yang kebingungan, lalu tersenyum sinis.
“Selamat ya,Win. Kau memang pantas bersanding dengan Ibuku. Kalian punya banyak persamaan. Sama-sama berhati batu! Tanpa ku sadari kalian sama munafiknya!” tukas Erina.
Final!! Sebuah tali cinta yang tulus itu telah terputus oleh adanya pengkhianatan. Dengan gerimis mengiringinya.
Sebuah fakta pahit yang harus Erina terima. Erwin, seorang eksmud yang sudah 2 tahun ini menjalin hubungan dengan Erina. Hubungan itu kandas seketika saat Erwin menyerahkan selembar undangan kepada Erina. Undangan bergambar foto sepasang orang yang dulunya sama-sama Erina sayangi. Erwin dan Nadine, Ibu kandung Erina.
Sejak turun dari mobil Erwin, Erina berjalan sendiri. Dengan menenteng jas dokternya ia sendiri menembus gerimis malam yang panjang. Sampai akhirnya ia melihat halte bus dan berteduh disana. Erina menundukkan kepalanya, dengan samar-samar memandang gerimis didepannya yang tak henti-hentinya turun malam itu, air matanya perlahan turun membasahi pipinya. Tiba-tiba terdengar sebuah suara.
 Erina... Ada apa?”
Sebuah suara mengagetkan Erina, sontak dia mengangkat kepalanya. Dilihatnya seorang lelaki berdiri tegap disebelahnya. Menundukkan kepala untuk menatap Erina. Dengan keremangan lampu jalan, Erina mencoba melihat lebih jelas wajah lelaki itu.
“Eka…” lirih Erina
“Ya, ada apa? Kenapa kamu menangis sendirian disini? Kamu ga’ bawa mobil? Ga’ dijemput Erwin, Rin?
Erina kembali terisak. Sedetik kemudian dia merengkuh tubuh lelaki didepannya itu.
“Menangislah jika kau ingin menangis. Tumpahkan semua kesakitanmu..” ucap Eka didekat telinga Erina sambil mengelus rambut panjang Erina yang agak basah.
Ku menangis,
Melepaskan kepergianmu dari sisi hidupku.
Kau duakan cinta ini,
Kau pergi bersamanya…
Dan akulah hati yang telah-
Kau sakiti…
@@
Tanah merah itu masih basah, basah oleh gerimis yang terus berjatuhan dari langit. Tak ada tanda-tanda berubah menjadi curahan air yang demikian banyaknya.
Tetap gerimis. Hanya gerimis…
Erina hanya bisa mematung di tempatnya dengan kedua mata yang sembab dan merah, ditutup oleh sebuah kacamata hitam. Tangannya memegang selembar tissue putih. Pandangannya tertuju pada sosok ayahnya yang bersimpuh sambil terisak.
Perlahan Erina berjalan mendekat dan merengkuh pundak Ayahnya yang sedang bersimpuh disamping gundukan tanah merah itu. Lelaki setengah baya itu kini adalah satu-satunya orang tua yang kini dimilikinya
“Ayah.. maafkan Erina. Erina tidak bisa menolong Ibu..” kata Erina. Sang ayah mencoba sejenak menghentikan isaknya.
“Sudahlah,Nak.. Ini bukan salahmu. Ini semua sudah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa. Kau sudah berusaha semampumu, Rin…” dengan penuh kasih sayang, Ayah itu memeluk anak satu-satunya. Harta terindah yang masih dimilikinya di dunia ini.
Erina terdiam, memandang tanah pekuburan Ibunya. Dengan susah payah ia menahan kepedihan yang menggigit-gigit tubuhnya.
“Rin…” sebuah suara yang sudah tak asing di telinga Erina. Erina menoleh dan mendapati sosok pria yang dulu pernah menjadi sandaran hatinya. Erina terkesiap.
“Erwin…” ucapnya pelan.
“Ya,Rin. Aku masih disini…untukmu.”
“Beraninya kau datang kemari!” geram Erina.
“Harus berapa kali ku katakan padamu,Rin. Pernikahan itu tidak pernah ada!”
Erina seketika berdiri dan menarik tangan Erwin untuk menjauh.
“Sudahlah,Win.. Aku muak melihat wajahmu!” kata Erina.
“Aku mohon,Rin.. kembalilah padaku. Kita jalani hidup berdua seperti dulu lagi. Akan ku tepati segala janji yang dulu aku ucapkan padamu. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku masih mencintaimu, Rin…”
“Kau pikir aku perempuan yang mau menjilat kembali ludah yang telah ku buang? Apa otakmu masih berfungsi dengan baik? Aku tak bodoh sepertimu!”
“Beri aku kesempatan untuk memperbaikinya,Rin. Tidakkah kau tahu perasaanku yang sesungguhnya kepadamu? Aku mohon. Kalau perlu aku akan sujud dan mencium kakimu sekarang juga.” pinta Erwin seketika bersimpuh di hadapan Erina. Erina mundur selangkah.
Hati Erina tergugah oleh kesungguhan Erwin. Keteguhan hatinya dipertaruhkan. Tersirat rasa kasihan pada pandangan mata Erina.
Sudah beberapa bulan ini Erwin terus memohon kepada Erina. Tak kenal lelah untuk meyakinkan Erina bahwa pernikahannya dengan Ibu Erina tak pernah terlaksana. Hanya 3 hari menjelang hari pernikahan, Erwin memutuskan untuk menggagalkan semuanya. Membatalkan gedung resepsi pernikahan, catering, baju pernikahannya pun dibakar didepan Ibu Erina dengan penuh amarah. Erwin akhirnya sadar bahwa apa yang telah dikatakan Erina tentang Ibunya adalah benar. Nadine menikahinya hanya untuk mendapatkan saham yang lebih besar di perusahaannya. Nadine, tak lebih dari serigala berbulu domba.
“Maaf,Win…” Erina menarik tangan Erwin untuk bangkit. Erwin menatap matanya dalam-dalam.
“Rin…” panggil seseorang yang tak jauh dari tempat Erina dan Erwin berdiri. Erina menoleh, sedetik kemudian Erwin mengikuti.
“Sedang apa kamu disini, sayang?” kata lelaki itu.
Sontak Erwin berpaling menatap Erina. Seolah mencari penjelasan atas kata ‘sayang’ yang diucap lelaki itu. Erina yang seolah mengerti apa yang menjadi pertanyaan di benak Erwin, hanya mengedikkan bahu.
“Aku mencarimu kemana-mana, Sayang. Mari kita pulang. Ayah sudah menunggu di mobil.” kata lelaki itu.
“Dia suamiku,Win. Tak lama setelah kau putuskan aku, aku menikah dengan dia. Maaf, Win. Aku pamit dulu..”
“Tapi kenapa kamu ga’ kasih tahu aku, Rin? Sudah berapa lama?”
“Tuga bulan setelah kita putus. Dia temanku saat kami kuliah di Belanda dulu.”
Raut wajah Erwin berubah sedih. Memandang Erina tak percaya. Matanya nanar. Seluruh tubuhnya bagai ditusuk sebatang galah. Erina sudah hendak beranjak dari tempatnya saat lengan kirinya dicekal oleh tangan Erwin.
“Aku harap kamu bisa menemukan perempuan lain yang jauh lebih baik dariku. Aku pergi dulu,Win.. Jaga dirimu baik-baik.” Erina melepaskan tangannya, lalu dengan sedikit berlari menghampiri suami yang sangat dicintainya.
“Siapa dia? Teman kamu?” Tanya suami Erina.
“Ya, teman lama..” jawab Erina singkat.
Mereka berjalan menjauh. Erina merangkul tangan suaminya erat-erat. Seolah tak mau jauh dari lelaki bertubuh tegap itu. Ya, dialah Eka. Lelaki yang selalu memberi pelukan hangat saat Erina membutuhkannya. Sesosok imam yang dapat mengayomi Erina dengan sepenuh hati. Tanpa kemunafikan dan keraguan hati.
Sementara Erwin hanya diam memandang punggung 2 insan itu, yang semakin lama semakin menjauh. Dalam lubuk hati yang paling dalam, Erwin berharap Erina akan menoleh padanya, lalu berlari dan merangkul tubuhnya. Mengucapkan kata-kata yang sangat ingin dia dengar. Namun, harapan tinggal harapan. Kenangan tinggal kenangan. Nasi yang sudah menjadi bubur-mau tak mau-harus dimakan juga.
Dengan berat, Erwin memutar tubuhnya. Memandang gundukan tanah merah yang masih basah itu. Perlahan, ia mendekatinya. Ia bersimpuh di tepi makam itu. Hatinya teriris.
“Nyonya Nadine…” ucapnya lirih. “Semoga kau tenang disana. Dan semoga kau mendapat balasan yang seadil-adilnya atas apa yang telah kau lakukan selama ini. Tidakkah kau ingat berapa banyak orang yang kau lukai? Berapa banyak hati yang kau manfaatkan untuk kepentinganmu sendiri? Percayalah, karma itu benar adanya.”
Erwin berhenti sejenak, lalu tersenyum sinis.
“Selamat jalan…wanita jalang…”
@@
Dalam hati kecilnya, Erina tidak benar-benar membenci Ibunya. Dia sadar bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Terlepas dari segala hal negatif tentang Ibunya, Erina memandang Ibunya adalah sosok yang cerdas, ramah, baik, dan selalu tegas dalam mengambil keputusan. Dan itu membuatnya sedikit bangga sebagai anaknya. Namun, ternyata, justru itulah yang terburuk.
Suatu ketika Ibu Erina jatuh sakit, batuk-batuk parah dan suhu badannya tinggi. Erina yang pada saat itu sudah menjadi dokter dan sudah mendapat sertifikat untuk membuka praktek sendiri, selalu setia disamping Ibunya. Diagnosis awal menunjukkan gejala TBC, tapi begitu foto rontgent paru-parunya keluar, semua dokter sepakat kalau Ibu Erina mengidap kanker paru-paru stadium akhir.
Berat badan Ibunya menyusut dalam sekejap. Matanya cekung, tulang pipinya menonjol, dan gairah hidupnya hilang. Enam bulan kemudian, sejak vonis kanker itu diberikan, Ibu Erina pergi tanpa sepatah kata pun diucapkan, bahkan sekedar kata ‘maaf’. Pergi untuk selamanya, meninggalkan sosok Erina yang selalu terisak karena tidak bisa menolong Ibunya untuk hidup lebih lama lagi.
Ya, Allah yang mengatur segalanya. Allah yang punya urusan dalam setiap langkah hamba-Nya.
@@
Tak terasa air mata Erina mengalir. Masih dipandangnya gerimis itu. Begitu teduh gerimis itu, mengingatkannya dalam segala kenangan pahit.
“Ibu dulu pernah bilang kalau nantinya aku tidak akan menyesali keputusan Ibu yang menjadikanku seorang dokter. Namun, aku sangat menyesal karena tidak bisa menjadi dokter yang tidak pandai merawat pasiennya. Apalagi pasien itu adalah Ibunya sendiri.” Linangan air mata Erina semakin deras.
“Sudahlah, Rin. Ayah tahu kamu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong Ibumu. Jangan selalu menyalahkan diri sendiri, itu tidak baik untuk kariermu. Kamu tidak akan berkembang kalau terus dibayangi oleh masa lalumu yang kelam.” Ujar Ayah menenangkan Erina.
“Ma, asyik sekali lihat gerimisnya!”
Erina buru-buru menghapus air matanya, lalu berbalik. Ia melihat Erika, gadis manis berusia 5 tahun yang merupakan buah perkawinannya dengan Eka. Erina tersenyum lalu menggendongnya.
“Mandi hujan yuk, Ma!” ajak Erika.
Erina menatap ayahnya. Ayahnya tersenyum.
“Kalau kau ingin mandi hujan bersama putrimu, lakukanlah, Rin.”
Mata Erina kembali berkaca-kaca menatap Ayahnya.
“Ya,Ayah. Erina ingin berbagi kenangan dalam gerimis.”
“Rin..ini bukan gerimis terakhir…” kata Ayah sambil menatap Erina. “Luruhkan semua kenangan pahitmu bersama gerimis.”
Erina menggenggam tangan ayahnya. Ada kehangatan hati yang menjalar melalui tangannya. Kemudian, sambil tetap menggendong Erika, Erina berjalan menuju halaman rumahnya, menerobos gerimis dan menari-nari bersama Erika sambil tertawa.
Sejenak Erina tengadah menghadap langit.
Dalam hati Erina berkata,
Gerimis ini, adalah rezeki yang Kau berikan kepada makhluk-makhluk-MU di muka bumi. Walaupun kenanganku tentang gerimis sangat kelam, namun sebagai makhluk ciptaan-MU yang paling sempurna, aku sepertinya tak pantas membenci gerimis. Semoga setelah ini tak ada lagi hal-hal buruk yang terjadi dalam gerimis. Sehingga tak ada lagi alasan untuk ku membenci gerimis dan segala kenangan tentangnya…
Perlahan Erina tersenyum sambil berbisik,
 “Terima kasih, Ya Allah…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar